Reformasi Harus Dikawal Agar Etika politik Tidak Semakin Kabur

Reformasi Harus Dikawal Agar Etika politik Tidak Semakin Kabur

Kamis, 23 Mei 2013
aaaaDinamika Kepri - Pengamat politik Universitas Pattimura Ambon Prof Dr Tonny Pariela menyatakan reformasi yang diperjuangkan 15 tahun lalu harus didukung pembenahan kultur politik agar tujuan awal tidak bias. Etika politik semakin kabur karena sejumlah oknum pimpinan parpol terkesan menghalalkan segala cara demi kepentingan mereka.

"Gerakan sehingga Presiden Soeharto mengakhiri jabatannya pada 21 Mei 1998 sebenarnya reformasi untuk perubahan struktur politik yang saatnya harus berbanding lurus dengan pembenahan kultur politik," katanya pada renungan 15 tahun Reformasi di Ambon, Rabu (21/5).

Bila kultur politik tidak dibenahi, menurut dia, tujuan reformasi yang diperjuangkan mahasiswa pada 1998 itu menjadi bias. Apalagi partai politik (parpol) yang bertanggung jawab memberikan pembelajaran politik kepada masyarakat kurang merealisasikan ketentuan undang-undang tersebut.

"Jadi perubahan struktur haruslah berbanding lurus dengan pembenahan kultur politik. Sehingga tujuan reformasi terwujud untuk kemajuan Indonesia di berbagai sektor," ujar Tonny.

Karena itu, menurut dia, perlu ada intervensi dari berbagai komponen bangsa. Sehingga cita-cita reformasi yang tidak semata hanya melengserkan Soeharto dari kursi presiden itu bisa terwujud.

Saat ini, etika politik perlahan hilang karena sejumlah oknum pimpinan parpol terkesan menghalalkan segala cara demi kepentingan mereka. Perwujudan demokrasi semakin jauh dari harapan.

"Wajar sekiranya etika poltik yang merupakan pencerminan masyarakat Indonesia yang beradab itu tidak lagi berlandaskan kultur politik karena mengandalkan basis-basis massa spiritual," kata Tonny.

Tercipta basis massa berdasarkan suku, agama, golongan dan lain membuat arah reformasi yang seharusnya berdampak strategis pada berbagai sektor belum juga tercapai. "Rasanya norma-norma demokrasi perlu digairahkan lagi sehingga tujuan reformasi yang awalnya dilandasi kepentingan politik itu berdampak strategis untuk bidang lainnya demi kemajuan Indonesia," ujar Tonny Pariela.

Setelah reformasi, Indonesia mengalami pergantian Presiden yaitu B.J. Habibie (21 Mei 1998 - 20 Oktober 1999), H.Abdurrachman Wahid (23 Oktober 1999 - 22 Juli 2001), Megawati Soekarnoputri (23 Juli 2001 - 2004) dan Susilo Bambang Yudhoyono (2004 - 20 Oktober 2009 dan dipilih kembali untuk masa jabatan kedua kali 2009-2014).

Setelah Soeharto lengser, Wakil Presiden B.J Habibie secara konstitusional berhak melanjutkan masa jabatan yang tersisa sampai 2003. Habibie pada 28 Mei 1998 mengadakan pertemuan konsultasi dengan Pimpinan DPR beserta fraksi-fraksi yang menyepakati untuk mempercepat Pemilu yakni 7 Juni 1999.

Saat sidang umum MPR pada 19 Oktober 1999, pidato pertanggungjawaban Habibie sebagai presiden ditolak MPR, sehingga ia mundur dari pencalonan pada periode berikutnya. MPR lalu memilih H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden dan Wakil Presiden pada 20 Oktober 1999. Namun, Gus Dur pun tidak merampungkan masa kepemimpinannya karena dimakzulkan pada tahun 2001