Batam : Tim kuasa hukum Kapten KM Rizki Laut IV, M. Fahyumi bin Syarbini, menyoroti sejumlah dugaan pelanggaran prosedural dalam proses penangkapan dan penyitaan bahan bakar minyak (BBM) oleh Subdit IV Tipidter Ditreskrimsus Polda Kepulauan Riau. Mereka menilai tindakan aparat berpotensi melanggar hak asasi manusia dan tidak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Hal tersebut disampaikan dalam konferensi pers di Batam, Minggu (2/6). Kuasa hukum menyatakan bahwa surat kuasa resmi diterbitkan pada 30 Mei 2025 dan ditandatangani pada Sabtu (31/5), menyesuaikan dengan hari libur sebelumnya.
Rusok, ” Tolak Pembangunan Di Atas Lahan Saya Yang Di Bukit Kampung Belian Sungai Gorong
Senin, 21 April 2025
“Kami ingin meluruskan dan mengklarifikasi sejumlah pelanggaran prosedural, mulai dari penangkapan, penyitaan barang bukti, penetapan tersangka, hingga proses penyidikan,” ujar perwakilan kuasa hukum.
Penangkapan di Hari Libur Nasional
Kejadian bermula pada Kamis dini hari, 29 Mei 2025—bertepatan dengan hari libur nasional Kenaikan Isa Almasih. Sekitar pukul 00.30 WIB, KM Rizki Laut IV berlayar dari Tanjung Puncak menuju perairan Kabel. Setelah menyelesaikan kegiatan, kapal kembali melintasi perairan Tanjung Undap dalam kondisi normal.
Sabtu, 15 Februari 2025
Namun, sekitar pukul 01.00 WIB, kapal tersebut didekati oleh sebuah speedboat sipil bermesin 20 PK yang membawa lima pria bersenjata laras panjang. Tanpa menunjukkan surat perintah, mereka naik ke kapal, menyita ponsel seluruh kru termasuk milik kapten kapal, dan mengambil alih kemudi tanpa menyertakan berita acara penyitaan.
“Petugas menodongkan senjata, menyita alat komunikasi, serta mengambil alih kemudi tanpa dasar hukum yang sah. Ini adalah bentuk intimidasi,” tegas kuasa hukum.
Sekitar pukul 03.00 WIB, kapal dilaporkan kandas di daerah berpasir karena air laut mulai surut. Tidak ditemukan adanya kerusakan kapal, tumpahan minyak, atau korban jiwa.
Penyitaan BBM Diduga Tanpa Prosedur Hukum
Pada 30 Mei 2025, sekitar pukul 11.30 WIB hingga malam hari, dua kru kapal diperiksa dan kemudian dipulangkan, sementara kapten tetap ditahan. Surat perintah penangkapan baru disampaikan kepada istri kapten setelah proses penahanan berlangsung.
Di hari yang sama, sebanyak 11.120 liter BBM disedot dari kapal menggunakan dua truk tangki tanpa disertai berita acara penyitaan, tanpa kehadiran kapten kapal, dan tanpa surat perintah penyitaan sebagaimana diatur dalam KUHAP.
“Ini pelanggaran serius terhadap Pasal 38 KUHAP. Tidak ada berita acara, tidak ada saksi, dan tidak ada keterlibatan tersangka saat penyitaan. BBM dikatakan akan dititipkan ke PT Rizky Barokah Madani, namun tidak jelas bagaimana mekanismenya,” ujar kuasa hukum.
Sementara itu, SPDP (Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan) baru dikirim pada 31 Mei. Hingga konferensi pers digelar, pihak keluarga mengaku belum menerima salinan resminya.
Penangkapan Dinilai Cacat Hukum
Tim hukum menilai seluruh proses penangkapan dan penyitaan dalam kasus ini cacat hukum. Mereka mengacu pada sejumlah yurisprudensi, termasuk Putusan PN Jakarta Selatan No. 32/Pid.Pra/2013, yang menyatakan bahwa penangkapan tanpa surat perintah di luar kondisi tertangkap tangan adalah tidak sah.
“Kapten tidak sedang melakukan tindak pidana. Tidak ada pencemaran, kerusakan lingkungan, atau pelanggaran hukum lain. Maka, penetapan status tersangka pun tidak memiliki dasar hukum yang kuat,” jelasnya.
Penyidikan yang dilakukan saat hari libur nasional juga dinilai melanggar prinsip hukum acara pidana, kecuali dalam kondisi tertangkap tangan atau keadaan mendesak. Dalam kasus ini, menurut kuasa hukum, tidak ditemukan adanya situasi darurat.
Akan Tempuh Praperadilan
Tim kuasa hukum menyatakan tengah menyiapkan gugatan praperadilan terhadap penetapan tersangka terhadap kliennya. Mereka juga mendesak agar seluruh proses hukum dijalankan secara transparan.
“Kami minta seluruh proses penegakan hukum dilakukan secara terbuka. Jangan sampai hukum justru dilanggar oleh aparat yang menegakkannya,” kata mereka.
Sebagai catatan, Mahkamah Agung dalam Putusan PK No. 94/PK/Pid/2018 menegaskan bahwa jika perbuatan pidana belum terjadi atau tidak dapat dibuktikan saat penangkapan, maka proses hukum terhadap seseorang tidak dapat dilanjutkan.
( San)